Minggu, 29 November 2009
Bu Ngatini pedagang gorengan pasar tradisional
Minggu pagi adalah waktu yang tepat untuk aku lari pagi bersama teman-teman. Ketika melewati sebuah pasar aku merasa haus dan kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah gerobak milik seorang bapak paruh baya. Sambil menikmati es buah kami melayangkan pandang ke tiap sudut pasar, pandanganku tertuju pada seorang ibu dengan jilbab coklat dan celemek di dadanya menjajakan gorengan. tiba-tiba perutku merasa lapar dan akupun menghampiri pedagang gorengan tersebut. Sambil menikmati gorengannya aku mulai berbincang-bincang dengan pedagang tersebut yang ternyata bernama Bu Ngatini.
Aku :"Ibu tinggal dimana?"
Bu Ngatini :"Di Brumbung dek, deket sini."
Aku :"Sudah lama bu, dagang gorengan di Pasar Cuplik?"
Bu Ngatini :"Lumayan dek, sudah 15 tahun."
Aku :"Cukup lama ya bu, sejak ibu masih muda ya?ga pengen coba pekerjaan lain bu?"
Bu Ngatini :"Mau kerja apa dek,SD saja saya ga tamat. Ekonomi sulit, orang tua cuma jadi petani saudara banyak dek ada 5, ya wajarlah dek orang susah."
Aku :"Anaknya ada berapa bu?"
Bu Ngatini :"3 dek, 2 laki-laki, 1 perempuan."
Aku :"Masih sekolah semua bu?"
Bu Ngatini :"Yang paling besar sudah bekerja, yang 2 masih SMP dan SD."
Aku :"Apa harapan ibu ke depan?"
Bu Ngatini :"Nyekolahin anak setinggi-tingginya, biar bisa kerja enak dan bisa bantu keluarga."
Aku :"Terima kasih ya bu, sudah mau nemenin saya istirahat."
Bu Ngatini :"Ya dek, sama-sama."
Akupun melanjutkan lari pagiku, di pagi ini aku tak hanya mendapatkan kesehatan jasmani tapi juga dapat pelajaran dari pengalaman seorang pedagang gorengan.
Bang Wakhidi si tukang becak
Wakhidi (52) adalah seorang tukang becak yang beroperasi di daerah pasar kliwon. Hari-harinya dijalani sebagai tukang becak pada pukul 06.00 pagi dan berakhir pada pukul 21.00. Hari ini seperti biasa tiap pukul 6 pagi dia mengantar anak SD ke sekolahnya yang sudah menjadi langganannya 4 tahun belakangan ini. Dengan atribut caping dan kaos lengan panjang dia mengayuh becaknya dengan mantap. Selesai dia mengantarkan anak SD tersebut ke sekolahnya dia menunggu penumpang di sekitar kraton kasunanan Surakarta. Maka aku tertarik menghampirinya sejenak untuk berbincang-bincang. Tapi sebelumnya saya memperkenalkan diri terlebih dahulu dan mulai bertanya.
Aku :"Bapak sudah bekerja berapa tahun?"
Bang Wakhidi :"Kira-kira sudah 20 tahun saya menjadi tukang becak."(dia menjawab sambil menghisap rokok 76 kegemarannya)
Aku :"Berapa penghasilan bapak tiap hari?"
Bang Wakhidi:"Wah... ya tidak pasti dek, kalau sepi ya 10 ribu, kalau rame ya kadang sampai 50 ribu, yang penting dapur bisa ngebul terus dek."
Aku :"Bapak mempunyai berapa anak?"
Bang Wakhidi:"Ada 4 anak, yang sudah menikah 3 dan yang masih bekerja 1."
Aku :"Cita-cita bapak yang belum tercapai apa?"
Bang Wakhidi:"Saya dulunya pengen jadi juragan mebel tapi ya karena kendala modal akhirnya jadi tukang becak tapi yang penting anak-anak bisa makan dek....hahahaha..."(jawabnya sambil tertawa khas)
Aku :"Oh...begitu pak, terima kasih atas waktunya ya pak."
Bang Wakhidi:"ya...sama-sama dek."
Akhirnya aku tahu sedikit tentang kehidupan sebagai tukang becak. Kehidupannya tak semudah yang aku bayangkan sebemunya, ternyata banyak suka duka didalamnya.
PEDAGANG KAKI LIMA
Waktu perkuliahan telah berakhir, aku beranjak meninggalkan kampus menuju boulevard untuk mencari segelas es teh pengobat dahaga di siang yang panas ini. Sampai di boulevard aku menuju tempat langgananku yang dilayani seorang perempuan setengah baya dan segera memesan apa yang kuinginkan. Siang ini aku tidak ada teman yang kuajak untuk bercanda, kuputuskan saja membuka pembicaraan dengan pedagang yang ada di depanku yang kutahu namanya Bu Sri. Bu Sri adalah salah satu pedagang kaki lima yang berjualan di depan kampusku, dia terlihat agak gemuk, kulit kuning dengan sedikit uban di rambutnya, mengenakan kaca mata tentunya wajar untuk wanita seusianya dan ciri yang khas darinya ketika dia tersenyum terlihat giginya yang tanggal. Sambil membuatkan pesanan pembeli, dia mulai bercerita tentang kehidupannya. Terkadang sesekali dia mencurahkan suka dukanya menjadi seorang pedagang kaki lima. Dengan gelas di tangan dan blender di depannya, dia bercerita tentang awal mula dia merintis usahanya dengan beberapa saingan dan pengakuannya yang ternyata kurang mengenal lingkungan. Meskipun dengan bahasa Indonesia yang sedikit dipaksakan dia berhasil merayu beberapa pembeli untuk mendekat ke gerobaknya, itulah caranya yang khas dalam strategi bisnisnya.
PETANI
Udara pagi ini menusuk syaraf-syaraf kulitku, berat terasa untuk menbuka mata. Tiba-tiba pandanganku tertuju kepada seorang laki-laki paruh baya dengan menggenggam sabit, cangkul di pundaknya dan caping yang masih terkalung di lehernya. aku mengamati setiap gerak-geriknya, akhirnya aku memutuskan untuk mengikutinya. Tidak terasa selang beberapa saat aku sampai pada sebuah ladang yang basah akibat hujan semalam. Laki-laki itu ternyata seorang petani, dia mulai mencangkul ladangnya yang basah. aku keasyikan mengamati hingga aku tidak sadar teman-teman petaninya datang satu-persatu hingga seluruh area persawahan ramai akan petani-petani. Satu teman petani mulai menyapa laki-laki tersebut yang akhirnya kuketahui namanya Narimo dari temannya tadi, dengan logat tegal yang masih melekat padanya, Narimo membalas sapaan temannya itu. Setelah menyapa temannya Narimo melanjutkan pekerjaannya yang hampir separuh selesai. Sambil bekerja para petani mengobrol satu sama lain, mereka membicarakan dari masalah rumah tangga hingga politik yang dikemas dalam gurauan khas para petani. Matahari mulai menyengat kala hari menjelang siang, Narimo mulai menggunakan capingnya untuk mengurangi panasnya matahari. Beberapa saat kemudian Narimo beserta teman-teman petaninya beristirahat di bawah pohon mahoni sambil membuka bekal makanan yang mereka bawa dan tetap melanjutkan sendau gurau mereka. Aku mencoba untuk mengikuti pembicaraan mereka, kadang logat tegal yang diucapkan oleh Narimo sulit untuk kumengerti, maka kuputuskan untuk membaur dengan mereka dan mencoba menyimak apa yang mereka bicarakan. Kadang aku tertawa dengan mereka dan kadang aku berfikir untuk mengambil sesuatu yang tersirat dalam pembicaraan mereka. Waktu beristirahat telah usai, Narimo dan teman-temannya mulai melanjutkan pekerjannya masing-masing. Dan aku telah mengerti dan memahami sudut pandang para petani sehingga akupun pulang dengan puas telah mengobati rasa penasaranku terhadap kegiatan para petani yang menurutku sangat menarik.
Minggu, 22 November 2009
Langganan:
Postingan (Atom)